Aku memang perempuan yang sering memperhatikan banyaknya bentuk kekuasaan laki-laki yang menyingkirkan hak perempuan. Aku belum bisa dikatakan sebagai feminis kalau ternyata pengetahuanku masih terlalu minim untuk memperjuangkan perempuan. Tapi aku juga tidak menolak jika disebut feminis selama kata feminis tidak diartikan sebagai bendera perang-ku terhadap laki-laki karena tidak bisa dihindari bahwa banyak kebahagiaan yang juga aku peroleh dari mereka; kakak laki-lakiku, adik laki-lakiku, teman laki-lakiku, juga pasangan laki-lakiku.Kesalahan persepsi itu akhirnya bisa jadi boomerang buatku ketika aku ingin mengekspresikan kemarahanku. Aku yang sedang marah sering dianggap gila, divonis kesurupan, bahkan dicap berkepribadian ganda.
Ketika aku marah, keluar pertanyaan untukku, 
“ Kamu ini kenapa sih?” atau 
“Kamu kerasukan apa sih?”
Pertanyaan itu menegaskan bahwa sumber kemarahanku diremehkan dan dianggap sebagai kegilaan perempuan yang tidak beralasan dan tidak rasional. Kegilaanku muncul sebagai hasil dari kemarahan-kemarahan yang tidak tersalurkan. Aku selalu dituntut jadi perempuan ‘normal’ yang serba lupa; lupa sakit, lupa penyesalan, kekesalan dan kelelahan.
Curahan kemarahan ini pun bisa dianggap sebagai usaha diri dalam membentuk image perempuan yang tersakiti.
Tapi BUKAN!
Aku bukan orang yang paling menderita dengan mengatakan ini.
Aku juga bukan orang yang paling benar dengan mengungkapkan ini.
Kemarahanku mungkin mengandung kesalahan.
Kebenaranku juga bukan mengharapkan kekalahan dari pihak lain.
Inspired by Aquarini Priyatna